Asalamualaikum.selama ini kita ternyata hanya manusia ikut ikutan tapi tidak tahu .apakah yg kita ikuti benar atau salah .ternyata propaganda negatif adalah obat manjur mencuci otak awam
.kita lupa sejarah dan asal usul dari bahasa sekeliling kita dan leluhur kita sendiri.
Perihal fenomena perdukunan adalah hal yang tak dapat dipisahkan dari budaya bangsa kita, dari masa lalu, kini, dan nanti. Walau kata Dukun kini mulai bergeser dari makna yang sebenarnya karena mulai bermunculan istilah-istlah baru, semisal Ahli Pengobatan Alternatif, Paranormal, Orang Pintar, dan lain sebagainya.
Tergesernya istilah Dukun, juga karena oknum dukun itu sendiri yang pada akhirnya mencoreng makna Dukun yang sebenarnya. Sehingga, belakangan kerap terdengar istilah dukun cabul, dukun santet, dan dukun-dukun lain yang berkonotasi pada hal-hal yang negatif.
Padahal, di salah satu wilayah Kepepulauan Bangka Belitong, tepatnya di Kecamatan Tempilang, Bangka Barat, yang sehari-hari masyarakatnya menggunakan bahasa Melayu—bahasa yang merupakan cikal bakal dari bahasa Indonesia—istilah Dukun masih diposisikan sebagai kata yang terhormat. Semisal menyebut ketua adat atau sesepuh mereka dengan sebutan Dukun. Dan, tentu saja, si ketua adat tersebut, selain memang seseorang yang ditokohkan, juga memiliki kemampuan spiritual dan supranatural, atau dalam istilah Jawa lazim disebut dengan linuwih.
Ditanya soal perkembangan dunia dukun, dari jaman ke jaman, mantan juru bicara Presiden, di masa pemerintahan almarhum KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) menyampaikan, bahwa konon Dukun adalah sebutan bagi orang-orang yang memiliki kemampuan di luar konteks orang kebanyakan.
“Jadi di masa lalu, Dukun itu adalah orang-orang yang linuwih. Mereka memiliki status sebagai orang yang linuwih melalui pengalaman komunitas. Kemampuan atau kelinuwihan mereka itu disaksikan atau dirasakan manfaatnya oleh orang banayak atau secara komunitas dalam rentang waktu yang panjang. Sehingga status mereka itu menjadi obyektif, ya karena disaksikan secara terus menerus,” ujarnya mengawali perbincangan dengan Histeri saat ditemui di kediamannya di Komplek Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah.
Lebih lanjut Yahya mengemukakan, ketika status kelinuwihan dukun itu ditarik ke konteks masyarakat sekarang yang individualistik serta saling berjarak satu sama lain, maka dengan sendirinya tidak ada lagi poses verifikasi alamiah akan kelinuwihan seseorang atau dukun itu sendiri.
“Contoh, kalau di masa sekarang, orang yang mengaku sukses atau berhasil atas bantuan seorang tokoh yang linuwih tersebut, biasanya hanya dia yang tahu, karena tidak disaksikan oleh orang lain. Oleh karenanya, umpama saya mendengar pengakuan seperti itu, maka saya hanya merasa sugesti-sugesti saja, karena saya tidak menyaksikan secara langsung. Beda dengan masa lalu. Kalau masa lalu itu, orang satu kampung menyaksikan semua. Dan, berkali-kali si tokoh itu menunjukkan kualitas kelinuwihannya. Sehingga, status kelinuwihan itu menjadi obyektif, beda dengan sekarang, kalau sekarang kan subyektif,” tandasnya.
Disinggung mengenai kepercayaan masyarakat terhadap orang-orang yang memiliki daya linuwih tersebut, putra almarhum KH Chalil Bisri ini mengungkapkan, bahwa hal itu merupakan naluri kultural yang terus berkembang sampai saat sekarang. Namun demikian, imbuhnya lagi, karena konteks struktur sosialnya saat ini sudah berubah, maka ada kesenjangan antara naluri cultural dengan fakta atau fenomena supranatural pada seseorang. Oleh karena itu, akhirnya susah dipastikan secara obyektif, mana tokoh yang memang benar-benar punya kelebihan (daya linuwih) serta mana yang tidak.
“Kalau saat sekarang ini, susah dipastikan atau dibedakan mana yang memiliki kemampuan suprantural, atau hanya kebetulan, dan atau karena faktor-faktor lain yang mengesankan seseorang itu, seolah-olah memiliki kemampuan tersebut. Ya itu tadi, karena tidak adanya verifikasi alamiah yang obyektif dan kontinyu,” Yahya kembali menekankan.
Ditanya tentang kebanyakan kaum santri yang memiliki kemampuan supranatural, Yahya menggarisbawahi, hal itu terjadi, karena sebagian pondok pesantren masih ada yang melestarikan tradisi transfer (ijazah) doa-doa tertentu dari seorang guru kiai kepada para santrinya. Namun begitu, secara rangkaian silsilah, pewaris keilmuan itu dapat diketahui secara jelas. Misalnya, seorang guru menurunkan ilmu tertentu, pada murid atau santri A, santri A ini kelak menurunkan lagi pada santri B, dan begitu seterusnya. Nah, rangkaian silsilah pewaris tersebut, menjadi salah satu absahnya suatu keilmuan, termasuk ilmu-ilmu supranatural, atau dalam khazanah pesantren akrab disebutb dengan Ilmu Hikmah.
“Jadi kalau di pesantren, dalam konteks ilmu supranatural, itu biasanya tidak sekedar mengandalkan kemampuan dari ilmu atau doa atau suwu’ yang dikuasainya itu, tapi ya itu tadi, melihat rangkain pewaris dari ilmu itu. Contohnya begini, saya memiliki doa tertentu, saya diwarisi oleh kiai saya, kiai saya diijazahi oleh kiainya lagi, terus ternyata sumber ilmu itu dari Kiai Kholil, Bangkalan, umpamnya. Maka ketika saya mengamalkan ilmu itu, saya tidak hanya mengandalkan kemampuan saya sendiri, tapi saya berwasilah dulu pada Kiai Kholil, Bangkalan.”
Adanya wasilah, atau berdoa pada Allah SWT melaui perantara orang-orang sholeh dan waliyulah, tukas Yahya, adalah suatu yang penting dilakukan. Pasalnya dengan berwasilah pada si sumber ilmu memungkinkan lebih terijabahnya sebuah permohonan. Karena, orang-orang yang memiliki predikat sebagai kekasih Allah (waliyullah) menpunyai karomah.
“Umpamanya, dengan ilmu atau doa tertentu saya berbuat sesuatu dengan berwasilah pada Kiai Kholil Bangkalan, umpamanya, lalu Allah mengijabah, itu karena karomah dan barokah dari sumber ijazahnya, yaitu Kiai Kholil, Bangkalan, bukan karena saya. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa keilmuan di pesantren, itu rata-rata memiliki mata rantai sumber ilmu yang tidak putus, atau istilahnya itu sanad. Sanad keilmuan yang tidak putus!”
Karomah dan Barokah
Karena ternyata dalam pengamalan keilmuan supranatural ala pesantren ada yang disebut dengan karomah dan barokah, maka dikupas makna dari istilah tersebut. Dengan gamblang Yahya mengungkapkan, bahwa karomah secara harfiyah memilki arti kemuliaan.
“Karomah itu, maksudnya adalah kemuliaan. Kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang kasihi oleh Allah SWT. Menurut Imam Al-Ghazali, orang-orang yang kasihi oleh Allah, adalah orang-orang yang berhasil mengatasi tantangan-tantangan dalam mendekatkan diri pada Allah. Jadi kalau orang itu berhasil mengatasi tantangan tersebut, sehingga ia lebih dekat dengan Allah, maka Allah akan mengaruniakan 40 karomah. Yang 20 akan dikaruniakan kelak di akhirat, dan yang 20 lagi dikaruniakan di dunia.
Nah, di antara yang 20 itu, adalah setiap ucapan orang yang dekat dengan Allah itu, setiap ucapannya akan dijadikan barokah. Apa artinya barokah itu? Barokah itu artinya bisa betambah dan tumbuh dengan sendirinya. Dalam kata lain, manfaat dari ucapan-ucapannya itu bisa bertambah dan tumbuh (untuk hal kebaikan).”
Selanjutnya Yahya mencontohkan secara verbal dari apa yang dimaksud dengan dua kata: karomah dan barokah tersebut. Salah satu missal, banyak doa-doa tertentu yang diwariskan oleh para waliyullah, yang sejatinya tidak jelas artinya, bahkan terkesan asal bunyi, tapi manjur hasilnya. Hal itu, tandasnya tak lepas dari adanya karomah dan barokah pada doa itu.
“Banyak kan doa yang diwariskan para wali yang kesannya itu hanya asal bunyi, tapi sejatinya tidak demikian. Karena apa? Karena itu doa yang keluar dari orang yang dekat dengan Allah SWT dan ucapannya barokah, ketika kita amalkan, ya terbukti. Mustajab! Diijabahi oleh Allah. Misalnya, ada ijazah suwu’ untuk menyapih bayi. Saya mendapat ijazah dari ayah saya, ayah saya dari ayahnya, ayahnya atau kakek saya mendapat ijazah dari mertuanya, yaitu Kiai Khalil Harun. Doanya itu dalam bahasa Jawa, cuma dibuka dengan Basmalah Bismillaahirrahmaanirrahiim dan diakhiri dengan tahlil, Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasuulullaah. Terbukti ketika diamalkan, diijabahi oleh Alah SWT, karena dalam mengamalkannya, diawali dengan berwasilah pada sumber ijazahnya, yaitu Kiai Khalil Harun.”
Hal lain yang tidak memungkinkan terijabahi jika doa tertentu yang ditengarai bermuatan daya supranatural itu hanya sekedar mendengar dari sumber yang tidak jelas. Atau juga mendapat dari sebuah tulisan tanpa ada pengijazahan yang jelas dari seorang guru, serta sanad (mata rantai) keilmuannya terputus-putus.
Adapaun proses pengijazahan (penurunan ilmu secara jelas), Yahya menandaskan bermacam-macam sifatnya. Namun yang pasti, setiap doa khusus yang bermuatan daya supranatural khusus pula, biasanya diturunkan melalui proses yang disebut dengan ijazah. Berbeda dengan doa yang bersifat umum, atau doa khusus yang oleh sumbernya memang diniati untuk diijazahi untuk siapa pun yang mau mengamalkannya. Untuk yang disebut terakhir ini Yahya mencontohkan apa yang pernah dilakukan oleh kakeknya.
“Jadi, tentang pengijazahan ini adakalnya bergantung juga pada sumber ilmu atau perangkumnya. Salah satu misal, kakek saya , KH Bisri Mustofa, menulis buku kumpulan doa, kemudian beliau menyatakn secara tertlis, bahwa ‘Saya menulis kumpulan doa ini dengan niat mengijazahkan pada siapa pun yang mau mengamalkan atau membacanya.’ Hal ini dengan sendirinya, sudah menjadi ijazah yang bersanad langsung pada sumbernya.”
Ditanya kenapa harus dilakukan wasilah terlebih dahulu, sebelum melakukan doa, Yahya menegaskan, karena hal itu pernah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.
“Wasilah itu ada dalilnya, dulu ketika ibunya Sayyidina Ali karromallaahu wajhah wafat, Rasululah Muhammad SAW berdoa begini, Alahummaghfir lihadzihi janazah bihaqqi ambiyaa-ika bihaqqi jamii’i ambiyaa-ika… Jadi dalam konteks ini Rasulullah SAW mendoakan, Ya Allah, ampunilah jenazah ini, ibunya Sayyidina Ali, dengan wasilah Nabimu ini, dan para Nabi-nabi-Mu… Nabi-nabi sebelum beliau yang sudah wafat pun diwasilahi. Artinya apa? Apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, itu memohon pada Allah dengan menyebut atau menyambungkn diri pada Nabi-nabi-Nya yang tentu saja beliau-beliau itu adalah orang-orang yang dekat dengan Allah SWT.”
Jadi, Dukun, apa pun bentuknya sampai saat ini masih tetap digandrungi. Dan, sejatinya secara azazi dukun adalah sekelompok orang yang memiliki kekuatan di luar kemampuan yang lain serta bersifat abstrak. Namun begitu, kian tahun kian tergeser, baik secara istilah atau pun secara status linuwihnya. Begitu juga dengan istilah karomah dan barokah, keduanya sama-sama menyimpan nilai-nilai lebih, istimewa, di luar konteks logika, dan abstrak pula sifatnya.
Buka mata buka hati.lepaskan diri dari kedunguan diri dan buang propaganda iri dari wahabi.
Ori Gus yahya
Public Wasito adi
Editing ustad rangkuti ahli suwuk dan peruqyah aswaja sejati